Sejarah Gereja Girisonta

Riwayat Perintisan

Lahirnya Gereja di Girisonta tidak lepas dari berdirinya rumah Retret dan Novisiat Girisonta. Rumah retret yang dibangun pada tahun 1930, dengan peletakan batu pertama pada 3 Oktober 1930, diberi nama: Girisonta. Giri berarti Gunung, dan Sonta berarti Suci. Girisonta dimaksudkan sebagai tempat di kaki gunung yang sepi, cocok untuk bersemedi, menyucikan diri.

            Sejak tahun 1922 telah dibuka novisiat Jesuit di Yogyakarta, yang kemudian disusul dengan yuniorat dan filsafat. Pada tahun 1923 komunitas S.J. di Kolese Ignatius, Kotabaru Yogyakarta terdiri dari  11 orang. Tahun 1931 ada 45 orang. Adanya perkem­bangan itu, dipandang perlu mendirikan novisiat dengan yuniorat tersendiri. Maka di sebelah utara rumah retret Girisonta dibangun Kolese Santo Stanislaus. Bulan Sep­tember 1931 para yunior hijrah dari kota Gudeg ke lereng gunung Ungaran, kemudian disusul para novis.

            Pada tahun 1932 Girisonta menjadi Komunitas S.J. untuk pertama kali dengan stafnya: Pastor H. Koch sebagai rektor, Pastor G. Schmedding sebagai magister, Pastor Th. Verhoeven sebagai direktur rumah retret, J. Hellings sebagai minister scholas­ticorum, dan J. Schouten menjalani tersiat. Pada waktu itu ada 7 frater yunior, 7 frater novis dan 3 bruder novis, juga ada 2 orang postulan berminat menjadi bruder. Dari antara mereka Pater Schmedding dan Verhoeven tahan paling lama, sampai zaman Jepang masih di Girisonta.

Lahirnya Gereja di Girisonta

Pada waktu Girisonta lahir, di daerah sekitar Karangjati hampir tidak ada orang Katolik, hanya di Ungaran ada kelompok kecil. Dalam buku “De Katholieke Missie” tahun 1933, jumlah orang Katolik di Ungaran dan Girisonta hanya 99 orang. Jumlah itu telah termasuk permandian baru sebanyak 21 orang. Pada Hari Raya Paskah yang menerima Komuni mencapai 38 orang.

            Pastor G. Schmedding mulai mengajar katekismus kepada para karyawan kolese. Para novis mulai menjelajah desa-desa sekitar, sehingga sedikit demi sedikit orang mulai mengenal Pastor. Tanggapan masyarakat sekitar Karangjati masih minim, tetapi mereka yang tinggal di desa-desa yang agak jauh dari Girisonta memberi tanggapan lebih baik.

Maka untuk pertama kali, pada tahun 1932 Romo G. Schmedding, S.J. membaptis dan merintis buku permandian di Girisonta sebagai awal lahirnya Gereja di Girisonta. Permandian pertama yang dicatat dalam buku pertama, terjadi pada  22 Februari 1932, yaitu Petrus Canisius Sumantri, seorang kelahiran Kudus. Sedang­kan baptisan pertama orang asli Girisonta adalah seorang ibu dengan putrinya Theresia Soetara Kasijati dan Adriana Siti Roemsari dari desa Jatirunggo, dibaptis 17 April 1932. Baptisan dari sekitar Girisonta adalah Paulina Supinah, Maria Magdalena Sumini dari Pendem (sekarang Sidorejo). Martina Martinah, Ignatius Idin Kasmorejo, dan Juliana Soekirah dari Karangjati, dibaptis 14 Agustus 1933.

            Pada tanggal 2 Juni 1935 untuk pertama kalinya Mgr. P. Willekens, S.J. menerimakan Sakramen Penguatan kepada 49 orang, antara lain Ibu Paulina Soepinah di Gereja Kristus Raja Ungaran. Pada tanggal 27 Maret 1937 diadakan permandian pertama di Sambeng, yaitu Bapak Isidorus Slamet Soerataroena, bersama 13 orang lain. Dan pada tanggal 12 Juni 1937 untuk pertama kalinya di Gereja Girisonta diterimakan Sakramen Penguatan sebanyak 139 orang, antara lain Bapak Tarcisius Soeratin (sekarang di Lemahireng), Theresia Aminah, Modesta Soeti, semuanya berasal dari Sambeng.

            Sejak dibangunnya Gereja “Kristus Raja” di Ungaran pada tahun 1933 Girisonta menjadi salah satu stasi Ungaran. Perayaan Ekaristi pada hari Minggu pertama dan ketiga di Kristus Raja Ungaran, dan di Girisonta Perayaan Ekaristi diadakan di Kapel rumah retret.

Girisonta Menjadi Paroki

Setapak demi setapak, benih Kristiani yang ditaburkan itu makin tumbuh dan berkembang. Pada tahun 1935 jumlah umat Katolik sudah mencapai 378 orang. Pada tanggal 12 Agustus 1934 diletakkan batu pertama sebagai tanda dimulai­nya pembangunan gedung gereja untuk umat Girisonta. Pada waktu itu pembangun­an gereja kurang berjalan mulus dan  mengalami sedikit kesulitan, karena pemborong kurang mampu, konstruksi salah, dan harga-harga harus “disesuaikan”. Meskipun demikian, dalam jangka waktu setengah tahun akhirnya gedung gereja selesai dan pada tanggal 5 Februari 1935, Mgr. P. Willekens, S.J. yang menjadi Vikaris Apostolik di Jakarta (pada waktu itu Semarang masih di bawah Jakarta, dan kemudian pada tahun 1940 menjadi Vikariat sendiri) berkenan memberkati Gereja Santo Stanislaus di Girisonta, daerah Kecamatan Klepu (sekarang Bergas), Kabupaten Semarang, ± 30 Km sebelah Selatan kota Semarang. Sejak itu setiap hari Minggu Perayaan Ekaristi tidak lagi diadakan di kapel rumah retret tetapi sudah di gereja.

            Pada waktu gereja Paroki Girisonta diberkati mempunyai 2 buah stasi, yaitu Stasi Sambeng dan Stasi Sruwen. Umat Katolik terbanyak tinggal di Pendem (sekarang Sidorejo), dan di Karangjati, ini pun karena penghidupannya sebagai pekerja di Girisonta.

Masa suram bagi paroki Girisonta

Perang Dunia II pecah pada tahun 1939 – 1945, yang mengakibatkan kegon­cangan seluruh kegiatan termasuk pelayanan Gereja di Indonesia. Lebih-lebih ketika masa penjajahan Jepang, pada tahun 1942 – 1945, banyak pastor yang ditawan oleh Jepang. Sangat kurangnya Gembala umat pada waktu itu mengakibatkan di mana-mana tidak ada Romo yang sungguh-sungguh dapat memperhatikan umat Katolik, termasuk di Paroki Girisonta.

            Karya retret pun terhenti pada waktu itu. Menjelang kemerdekaan suasana menjadi kacau. Akhir tahun 1945 semua penghuni Girisonta diangkut ke Magelang dan beberapa minggu masuk penjara. Novisiat sementara menetap di Muntilan dengan magister Pastor Schoonhoff. Kompleks Girisonta kosong, sehingga menjadi sasaran penduduk sekitar. Perpustakaan lenyap, tabernakel dibongkar, perabot rumah dicuri. Beberapa waktu lamanya rumah dipakai oleh T.R.I.             Pada tanggal 4 September 1947, Pastor Ignatius Haryadi Pr. bersama Bruder N. Kardis, S.J. tiba kembali di Girisonta menemukan kerangka rumah. Mereka mulai membersihkan dan membenahi dua kamar dan kapel. Tidak jauh dari rumah ditemukan sebuah peti besi yang berat dan berkarat. Peti besi itu diberi tutup dan kunci dipakai sebagai tabernakel bagi kapel rumah retret. Lonceng gereja masih tergantung dan dengan sumbangan tali dari Bapak Lurah kembali bergema “Ange­lus” pagi, siang, dan sore. Satu demi satu umat Katolik muncul lagi. Permulaan 1948 sudah ada 60 orang datang ke gereja, meskipun situasi belum normal.

Lembaran baru perkembangan Paroki Girisonta sejak Indonesia merdeka

Setelah negara kita Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 1945, Paroki juga mulai terpelihara. Akan tetapi kemajuan masih lambat sekali. Hal ini dapat kita sadari, karena kurangnya Gembala, kurangnya kaum awam yang terdidik, apalagi belum banyak dilibatkannya kaum awam dalam masalah perkembangan Gereja.

            Para Pastor memandang perlu mengisi kemerdekaan ini dengan manusia-manusia yang terdidik, agar dapat memenuhi kebutuhan perkembangan jaman. Maka pada tahun 1948 di Paroki Girisonta mulai dirintis persiapan Sekolah Dasar Kanisius, agar dapat pula ditaburkan benih Kristiani kepada anak-anak. Apalagi di mana-mana belum ada sekolah. Usaha ini berhasil, dan pada tahun 1952 SDK Girisonta mendapat subsidi dari Pemerintah. Perhatian dan hubungan masyarakat dengan Romo makin tampak.

            Sesudah peristiwa G 30 S PKI, rakyat makin sadar betapa pentingnya memiliki iman kepercayaan kepada Tuhan, agar tidak mudah kena pengaruh dan ancaman pihak-pihak lain. Sadar akan panggilannya sebagai umat Kristiani, para awam bekerja sama dengan Rohaniwan (frater dan bruder) menyebar ke penjuru paroki memberikan pelajaran agama kepada umat. Bruder Mulyoharjono dengan jip Nato-nya mengedrop dan menjemput para awam sampai desa-desa yang jauh seperti Tegalmelik, Setro, Jatirunggo, Sambeng, Sedandang, Blondo, Glodogan, Jimbaran, membuat katekumen begitu melimpah.

            Usaha itu ternyata tidak sia-sia. Benih yang ditaburkan tumbuh subur. Pada tahun 1967 sampai 1971, melalui tangan Romo C. Martawerdaya, S.J. telah dibaptis lebih dari 1000 orang. Sejak itu, dari tahun ke tahun jumlah umat bertambah, stasi-stasi baru muncul. Kini “Kebun Anggur” yang dirintis oleh Romo G. Schmedding, S.J. sudah kelihatan buahnya.

Pergeseran budaya telah dimulai sejak 1990 dengan munculnya pabrik di sekitar Gereja Girisonta. Masalah baru yang dihadapi sekarang ini adalah Gereja Girisonta berada dalam kawasan industri, dengan aneka permasalahannya. Kehi­dupan pertanian telah digantikan dengan kehidupan sebagai buruh pabrik. Imigrasi besar-besaran dari kalangan kaum muda telah menjadikan kehidupan tenang dan damai beralih. Kini sepanjang hari jalanan di sekitar Girisonta tak pernah sepi.

            Bangunan gereja sejak didirikan tahun 1934 sampai sekarang sudah mengalami dua kali renovasi besar. Renovasi pertama oleh Rm. L. van Woerkens, S.J. pada tahun 1986 dengan menambah bangunan bagian depan. Renovasi kedua pada tahun 2001 oleh Rm. Alex Dirdjasusanta, S.J. dengan memperluas ke samping kiri dan kanan, serta memasang plafond. Sedangkan bangunan untuk gedung pertemuan “Sasana Manunggal didirikan tahun 1991 oleh Rm. J. Waskito, S.J.Selanjutnya Romo A.Danang Branesti,SJ menyampaikan impian agar Paroki menyerupai Taman Firdaus, beliau mencanangkan agar sekitar gereja banyak tanaman.Sebagai penerus romo Paroki yaitu Romo FX.Widiyatmoko,SJ membangun patung St.Stanislaus Kostka yang terletak di sekitar taman gereja.

            Kini sudah 90 tahun dilalui dengan berbagai tantangan, kini jumlah umat di paroki Girisonta pada awal tahun 2022 telah tercatat 5.170  jiwa, tersebar dalam 46 lingkungan. Jumlah Baptisan sudah mencapai 7504 orang, terdiri dari: Baptis Anak 3.249, Baptis Dewasa 4.255. Sedangkan jumlah Perkawinan sudah mencapai 1.620 pasang, terdiri dari perkawinan antara dua orang Katolik 1.101 pasang dan perkawinan campur 519 pasang.

            Nasib Gereja Girisonta ada di pundak kita bersama, marilah kita pikul bersama dengan hati yang terbuka dan tangan yang terulur, mempersilakan Allah menjadikan kita sebagai alat-Nya.