St. Stanisłaus Kostka, SJ.
Data Grafis
- Lahir : 28 Oktober 1550, Rostkow, Polandia
- Orang tua: Pangeran Joannes Kostka & Margaret de Drobniy Kryska
- Saudara (Kakak) kandung: Paul Kostka
- Pendidikan: Kolese Jesuit di Wina (Akademisches Gymnasium)
- Novisiat: St. Sant’ Andrea, di Quirinal, Roma
- Semboyan hidup: “Ad Maiora Natus Sum.” (Aku dilahirkan untuk hal-hal luhur)
- Meninggal: 15 Agustus 1568, Roma, Italia
- Tempat pemakaman: Gereja Santo Andreas, di Quirinal, Roma, Italia.
- Beatifikasi : 19 Oktober 1605 oleh Paus Paulus V
- Kanonisasi : 31 Desember 1726 oleh Paus Benediktus XIII
- Tanggal Pesta: 13 November
- Ditetapkan sebagai Pelindung para Novis SJ
- Pada masa:
- Magister Novis: Pater Giulio Fazio, SJ
- Jendral ke-3 Serikat Yesus: Pater Francisco de Borja
Uraian Singkat
- Stanislaus berasal dari keluarga bangsawan Polandia yang disegani, yakni (Pangeran) Joannes Kostka & Margaret de Drobniy Kryska.
- Mereka mendidik kedua bersaudara (Paul & Stanis) dengan keras. Apalagi, setelah didengar bahwa di Wina ada kolese Jesuit (Akademisches Gymnasium) yang bagus dan baru 4 tahun didirikan, maka ayahnya mengirim mereka berdua ke sana, dan tiba pada tanggal 25 Juli 1564.
- Di situlah Stanis bertemu dengan Pater Doni, yang menjadi bapa pengakuannya. Kepada Pater Doni inilah, Stanis menyampaikan kegelisahan hatinya yang telah ia timbang selama enam bulan, yakni panggilan menjadi Jesuit. Pater Doni pun mengusahakan agar Stanis bisa bercakap-cakap langsung dengan Pater Laurens Maggi, Provinsial Austria pada masa itu.
- Dari percakapan dengan Pater Provinsial ini, Stanis melihat dengan lebih jelas adanya kesulitan dan tantangan untuk mewujudkan panggilannya. Kesulitan itu tidak lain adalah “tidak adanya ijin dari orang tua”.
- Stanis memiliki devosi yang kuat kepada Santa Maria dan Santa Barbara. Maka iapun membawa persoalan dan kegelisahan batin itu dalam doa-doanya. Dalam doanya Stanis mengalami bayang-bayang penampakan Bunda Maria bersama dengan Kanak-kanak Yesus, yang meneguhkan panggilannya untuk menjadi Jesuit. Pengalaman itupun ia ceritakan kepada Ernest, sahabat dekatnya.
- Ketika Kardinal Commendone berkunjung ke Wina, Stanis mencoba meminta tolong. Kardinal pun menemui Pater Provinsial dan selanjutnya mengundang Stanis. Perjumpaan dengan Kardinal ternyata tidak mengubah jawaban Pater Provinsial, yakni bahwa dia “akan menerimanya, bila ada ijin dari orang tua”.
- Pada bulan Agustus datanglah ke Wina seorang jesuit Portugal, Pater Francisco Antonio. Tamu inipun ditemui Stanis. Ada titik terang, karena Pater Francisco Antonio menyarankan Stanis untuk menemui Pater Petrus Kanisius yang saat itu di Augsburg, sedang mengurus berdirinya kolese di kota itu.
- Maka Stanis segera mempersiapkan diri. Persiapan pertama yang dia buat adalah membeli pakaian ziarah. Setelah itu dia menghadap Pater Francisco Antonio yang memberinya dua surat: satu untuk Pater Petrus Kanisius (Provinsial Jerman) dan yang satunya untuk Pater Francisco de Borja yang pada waktu itu menjadi Jenderal ketiga Serikat Jesus.
- Stanis sadar bahwa keputusan yang diambil amat berbahaya, tetapi sekaligus yakin bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Iapun tidak perlu takut resiko. Kepada pegawainya, ia berpesan “Jika nanti waktu makan siang aku tidak ada, katakan kepada kakakku bahwa tidak perlu ditunggu karena aku mendapat undangan makan”. Peziarahanpun dimulai. Setelah berganti dengan pakaian peziarah, ia berjalan kaki dari Wina menuju Augsburg. Untuk makan ia meminta-minta dari petani. Beruntunglah di ladang tepian jalan banyak pohon yang penuh buah-buah masak, dan para petani selalu senang memberi kepada peziarah.
- Setelah menempuh jarak hampir 300 mil, Stanis dengan gembira memasuki kota Augsburg, tujuan pelariannya. Namun ternyata Pater Petrus Kanisius sedang di kota Dillingen. Untuk itu dia harus menempuh perjalanan 30 mil lagi. Sesampainya di kolese di Dillingen, ia bertemu bruder penjaga pintu. Dipandanginya Stanis dengan agak curiga. Untuk meyakinkan bruder, Stanis menyodorkan surat yang dibawanya dan menunggu Pater Petrus Kanisius. Perjumpaan dengan Pater Kanisius dan terus berada di dekatnya, membuat Stanis makin yakin dan dekat menjadi Jesuit; hanya soal waktu. Untuk menguji kesungguhan hati Stanis, Pater Kanisius memberi tugas Stanis untuk menjalankan latihan-latihan kejesuitan seperti pekerjaan di dapur, mengggosok lantai, mengepel, membersihkan periuk yang kotor oleh belanga. Ia menjalankan semua dengan disertai doa dan dimaknai sebagai bagian latihan penyangkalan diri.
- Pada tanggal 18 September 1567 Pater Petrus Kanisius menulis surat ke Roma dan memohon ijin untuk mengirim Stanis ke sana. Isi surat kepada Pater Jenderal Francisco de Borja, antara lain tertulis demikian: “Telah kuterima surat Pater yang mulia yang tertanggal 13 Agustus. Pater menginginkan agar kukirimkan saudara kita Jacobus Levanzio orang Genoa itu. Ia akan segera sampai di Roma bersama Magister Fabricius Reyner, dan mungkin sekali dengan Stanis, seorang bangsawan muda Polandia. Ia ingin masuk Serikat kita, tetapi sanak saudaranya tidak menyetujui maksudnya”.
- Setelah mereka bertiga berjalan kaki selama sebulan, dari Wina menuju Roma, menempuh perjalanan lebih dari seribu kilometer, sampailah mereka di kota Roma pada hari Sabtu tanggal 25 Oktober 1567. Merekapun tinggal di rumah para Jesuit, istirahat beberapa hari.
- Setelah itu Stanis memulai hidup di novisiat St. Sant’ Andrea, dengan dibantu oleh frater Claudius Aquaviva. Stanis dengan penuh semangat menjalani semua tugas, apalagi sebagian cara hidup jesuit sudah dikenalnya di Dillingen. Untuk memotivasi dirinya, Stanis menulis semboyan “Ad Maiora Natus Sum.” (Aku dilahirkan untuk hal-hal luhur). Semboyan ini menyingkapkan kesadaran mendalam akan makna, nilai, dan tujuan hidupnya.
- Stanis hanya mampu menjalani masa novisiatnya selama sepuluh bulan. Pada malam tanggal 10 Agustus 1568, saat perayaan Santo Laurentius, Stanis jatuh sakit karena demam tinggi, dan ia tampaknya bisa merasakan bahwa saat-saat terakhir hidupnya telah tiba. Pada tanggal 15 Agustus, sekitar pukul empat dini hari, saat ia sedang khusyuk berdoa kepada Tuhan, bersama para orang suci dan Bunda Maria, jiwanya yang indah meninggalkan tubuhnya dan kembali pada Sang Pencipta. Wajahnya bercahaya dengan penuh ketenangan. Stanis meninggal sebagai novis Yesuit dalam usia 17 tahun.
- Kelak, Pater Giulio Fazio, SJ, Magister Novisnya memberi kesaksian, “Stanis adalah model dan cermin dari kesempurnaan hidup religius”